Jumat, 26 Oktober 2012

Momenku di Gunung Bromo



Kesempatan belum tentu datang dua kali.

Hal itulah yang terbesit dalam pikiran saya untuk selanjutnya memantapkan dan mematangkan diri memutuskan untuk turut ikut serta melakukan perjalanan ke Puncak Gunung Bromo. Setelah sebelumnya dilanda “kegalauan” akibat ketidakjelasan yang “mungkin” mengikat di perguruan tinggi tempat saya menuntut ilmu.
Mulailah kami dengan sebuah tim kecil melakukan petualangan dengan beranggotakan ferry (saya), rizki, dedi, toni, dede, deni. Pada mulanya, kami berada di daerah yang berbeda-beda dan kemudian memutuskan untuk bertemu dan bertamu di Mojokerto, di salah satu rumah teman saya yang ikut andil dalam petualangan ini. Dari Mojokerto bergegaslah kami menuju Terminal Bus Probolinggo. Dari Probolinggo, kami diarahkan untuk menaiki bus mini yang warga sana menyebutnya dengan “Taxi”. Namun ongkos yang ditawarkan sedikit nemberatkan kami yaitu Rp35.000,- Maklum saja, petualangan ini adalah backpacker yang kami lakukan di akhir bulan. Jadi lebih harus berhemat dalam membelanjakan anggaran.


Salah seorang teman saya berinisiatif untuk mencari alternatif kendaraan lain yang lebih murah dan bergegas meninggalkan tempat tersebut. Hari sudah semakin gelap, transportasi yang kami caripun tak kunjung datang. Mencari tumpangan sudah kami usahakan, tapi tak satu kendaraanpun mau memberikan kami tumpangan. Dengan sedikit rasa frustasi, tiba-tiba seorang lelaki menghampiri kami. Setelah beberapa menit melakukan pembicaraan dan akhirnya Beliau menawarkan kami untuk menginap di rumahnya. Rasa heran, senang, bercampur keraguan terbesit dalam hati saya. Sedikit kecurigaan muncul dalam pikiran saya. Zaman sekarang masih adakah orang yang benar-benar baik?. Tiba-tiba mobil patrol polisi lewat, Bapak yang belum kami ketahui siapa namanya tersebut mencoba memberhentikannya. Melakukan pembicaraan dengan polisi yang duduk di kursi depan. Entah apa yang Ia katakan, tak terdengar jelas dari jarak kami dengannya. Kemudian Bapak itupun memanggil kami untuk ikut bersamamnya menaiki mobil patroli tersebut. Kami beranggapan kalau polisi tersebut hendak mengantarkan kami menuju Desa Cemara Lawang, arah menuju Gunung Bromo, tapi ternyata Bapak itu menjelaskan kalau mobil patroli itu membawa kami menuju ke rumah Beliau. Apa boleh buat, mobil sudah berangkat dan kamipun menuju rumah dan menginap di rumah Beliau.

Cerita punya cerita, sekitar pukul 11.00 WIB akhirnya sampailah kami di pemberhentian pertama, Desa Cemara Lawang. Cemara Lawang adalah sebuah desa yang menjembatani ke arah Gunung Bromo dan wisata di sekitarnya. Sebuah tempat peristirahatan orang-orang yang hendak melakukan pendakian ataupu berwisata. Disambut oleh udara dingin yang tiba-tiba datang menerkam di sekujur tubuh. Ditambah lagi cuaca gerimis yang menambah sensasi dingin. Keadaan ini pula yang membatasi kami pada hari itu untuk langsung mendaki Gunung Bromo. Dan di sini pula kami memutuskan untuk mencari penginapan dan mempersiapkan diri untuk menyambut hari esok di Puncak Gunung Bromo.

Sekitar pukul 04.00 WIB kami memulai perjalanan. Rute pertama yang akan dituju adalah Penanjakan 1. Hal pertama yang ingin kami lakukan adalah melihat sunrise yang biasa dilakukan di puncak penanjakan ini. Itu sebabnya perjalanan kami dimulai dini hari sekali. Terlihat banyak sekali wisatawan yang hadir di sini, baik itu wisatawan lokal maupun mancanegara semua bersama-sama ingin menikmati keindahan terbitnya matahari dilihat dari atas Penanjakan 1 ini. Dengan suasan yang masih gelap dan berkabut selangkah demi selangkah sampailah kami di atas penanjakan. Kabut semakin tebal, sesuatu yang ditunggu-tunggu tak kunjung kelihatan. Hari itu tidak ada sunrise yang muncul karena tertutupi oleh segumpulan kabut tebal. Sedikit merasa kecewa yang mungkin tidak hanya kami, namun semua yang datang di tempat tersebut merasakan hal yang sama. Tapi tak apalah, masih ada destinasi selanjutnya yang harus kami kunjungi.

Perjalanan kami lanjutkan menuju safana dan pasir berbisik. Safana adalah sebuah tempat yang dapat dikatakan padang rumput yang juga terletak di sebelah Gunung Bromo. Sebuah kawasan yang penuh dengan hijaunya bukit gundul. Sementara pasir berbeisik adalah padang pasir yang kerap kali angin bertiup menggerakan pasir-pasir tersebut membentuk suara seolah pasir tersebut sedang berbisik. Konon nama tersebut tercipta karena daerah tersebut dijadikan lokasi syuting film yang berjudul “pasir berbisik” yang dibintangi oleh aktris favorit saya mbak Dian Sastro Wardoyo. Kini menjadi popular sebagai salah satu tempat wisata di Taman nasional Gunung Bromo. Setelah melakukan beberapa kali sesi pemotretan di tempat-temoat tersebut, kami bergegas meninggalkan dan mulai menuju destinasi utama kami yaitu Puncak Gunung Bromo.


Berjalan sekitar 5 km di tengah hamparan badai pasir menuju kaki Gunung Bromo. Seperti suasana di film-film, hembusan butiran pasir bercampur grimis rintikan hujan serta partikel-partikel kotoran kuda menjadi satu membentuk gelombang angin yang dahsyat. Dengan jarak pandang yang terbatas, kami berjalan terus dan lurus ke depan mencapai Gunung Bromo.

Sampailah akhirnya di jalur anak tangga yang menuju pemandangan kawah Gunug Bromo. Ratusan anak tangga kami dijejaki menuju puncak kawah. Inilah untuk kali pertamanya buat saya menyaksikan langsung kawah Gunung Berapi. Kami gemetar tatkala melihat ke arah bawah gunung. Pinggiran kawah tempat kami berdiri tanpa ada pegangan ataupun batasan membuat kaki saya merinding untuk melangkahkan kaki. Sedikit saja terpeleset, langsung terperosot ke bawah. Menakutkan memang, tetapi itulah tantangannya. Saya harus berani melawan ketakutan diri sendiri. Memberanikan diri untuk duduk di tepian lereng dengan tak lupa mengabadikan momen tersebut.

Cuaca mendung gelap dan gerimis memaksa kami menyudahi pendakian. Puas rasanya bisa melakukan perjalalan tersebut. Ini adalah pengalaman pertama bagi saya mendaki gunung. Dan ini pula yang menambah semangat saya untuk melakukan perjalanan dan pendakian kebanyak gunung yang ada di Indonesia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar