Kesempatan belum tentu datang dua
kali.
Mulailah kami dengan sebuah tim
kecil melakukan petualangan dengan beranggotakan ferry (saya), rizki, dedi, toni,
dede, deni. Pada mulanya, kami berada di daerah yang berbeda-beda dan kemudian
memutuskan untuk bertemu dan bertamu di Mojokerto, di salah satu rumah teman
saya yang ikut andil dalam petualangan ini. Dari Mojokerto bergegaslah kami
menuju Terminal Bus Probolinggo. Dari Probolinggo, kami diarahkan untuk menaiki
bus mini yang warga sana menyebutnya dengan “Taxi”. Namun ongkos yang
ditawarkan sedikit nemberatkan kami yaitu Rp35.000,- Maklum saja, petualangan
ini adalah backpacker yang kami lakukan di akhir bulan. Jadi lebih harus
berhemat dalam membelanjakan anggaran.
Salah seorang teman saya berinisiatif untuk mencari alternatif kendaraan lain yang lebih murah dan bergegas meninggalkan tempat tersebut. Hari sudah semakin gelap, transportasi yang kami caripun tak kunjung datang. Mencari tumpangan sudah kami usahakan, tapi tak satu kendaraanpun mau memberikan kami tumpangan. Dengan sedikit rasa frustasi, tiba-tiba seorang lelaki menghampiri kami. Setelah beberapa menit melakukan pembicaraan dan akhirnya Beliau menawarkan kami untuk menginap di rumahnya. Rasa heran, senang, bercampur keraguan terbesit dalam hati saya. Sedikit kecurigaan muncul dalam pikiran saya. Zaman sekarang masih adakah orang yang benar-benar baik?. Tiba-tiba mobil patrol polisi lewat, Bapak yang belum kami ketahui siapa namanya tersebut mencoba memberhentikannya. Melakukan pembicaraan dengan polisi yang duduk di kursi depan. Entah apa yang Ia katakan, tak terdengar jelas dari jarak kami dengannya. Kemudian Bapak itupun memanggil kami untuk ikut bersamamnya menaiki mobil patroli tersebut. Kami beranggapan kalau polisi tersebut hendak mengantarkan kami menuju Desa Cemara Lawang, arah menuju Gunung Bromo, tapi ternyata Bapak itu menjelaskan kalau mobil patroli itu membawa kami menuju ke rumah Beliau. Apa boleh buat, mobil sudah berangkat dan kamipun menuju rumah dan menginap di rumah Beliau.
Cerita punya cerita, sekitar pukul
11.00 WIB akhirnya sampailah kami di pemberhentian pertama, Desa Cemara Lawang.
Cemara Lawang adalah sebuah desa yang menjembatani ke arah Gunung Bromo dan
wisata di sekitarnya. Sebuah tempat peristirahatan orang-orang yang hendak
melakukan pendakian ataupu berwisata. Disambut oleh udara dingin yang tiba-tiba
datang menerkam di sekujur tubuh. Ditambah lagi cuaca gerimis yang menambah
sensasi dingin. Keadaan ini pula yang membatasi kami pada hari itu untuk
langsung mendaki Gunung Bromo. Dan di sini pula kami memutuskan untuk mencari
penginapan dan mempersiapkan diri untuk menyambut hari esok di Puncak Gunung
Bromo.
Sekitar pukul 04.00 WIB kami memulai
perjalanan. Rute pertama yang akan dituju adalah Penanjakan 1. Hal pertama yang
ingin kami lakukan adalah melihat sunrise yang biasa dilakukan di puncak
penanjakan ini. Itu sebabnya perjalanan kami dimulai dini hari sekali. Terlihat
banyak sekali wisatawan yang hadir di sini, baik itu wisatawan lokal maupun
mancanegara semua bersama-sama ingin menikmati keindahan terbitnya matahari
dilihat dari atas Penanjakan 1 ini. Dengan suasan yang masih gelap dan berkabut
selangkah demi selangkah sampailah kami di atas penanjakan. Kabut semakin
tebal, sesuatu yang ditunggu-tunggu tak kunjung kelihatan. Hari itu tidak ada sunrise
yang muncul karena tertutupi oleh segumpulan kabut tebal. Sedikit merasa
kecewa yang mungkin tidak hanya kami, namun semua yang datang di tempat
tersebut merasakan hal yang sama. Tapi tak apalah, masih ada destinasi selanjutnya
yang harus kami kunjungi.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
safana dan pasir berbisik. Safana adalah sebuah tempat yang dapat dikatakan
padang rumput yang juga terletak di sebelah Gunung Bromo. Sebuah kawasan yang
penuh dengan hijaunya bukit gundul. Sementara pasir berbeisik adalah padang
pasir yang kerap kali angin bertiup menggerakan pasir-pasir tersebut membentuk
suara seolah pasir tersebut sedang berbisik. Konon nama tersebut tercipta
karena daerah tersebut dijadikan lokasi syuting film yang
berjudul “pasir berbisik” yang dibintangi oleh aktris favorit saya mbak Dian
Sastro Wardoyo. Kini menjadi popular sebagai salah satu tempat wisata di Taman
nasional Gunung Bromo. Setelah melakukan beberapa kali sesi pemotretan di
tempat-temoat tersebut, kami bergegas meninggalkan dan mulai menuju destinasi
utama kami yaitu Puncak Gunung Bromo.
Berjalan sekitar 5 km di tengah
hamparan badai pasir menuju kaki Gunung Bromo. Seperti suasana di film-film,
hembusan butiran pasir bercampur grimis rintikan hujan serta partikel-partikel
kotoran kuda menjadi satu membentuk gelombang angin yang dahsyat. Dengan jarak
pandang yang terbatas, kami berjalan terus dan lurus ke depan mencapai Gunung
Bromo.
Cuaca mendung gelap dan gerimis
memaksa kami menyudahi pendakian. Puas rasanya bisa melakukan perjalalan
tersebut. Ini adalah pengalaman pertama bagi saya mendaki gunung. Dan ini pula
yang menambah semangat saya untuk melakukan perjalanan dan pendakian kebanyak
gunung yang ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar